Pertama-tama, perlu dicatat bahwa Islam menekankan pentingnya taubat dan memaafkan. Jika seseorang melakukan zina dan bertaubat dengan sungguh-sungguh, Allah SWT Maha Pengampun dan Maha Penyayang. Dalam Islam, taubat yang ikhlas dapat menghapus dosa-dosa masa lalu.
Namun, menikahi wanita hamil akibat zina di dalam hukum Islam tidaklah sama dengan hukum perkawinan pada umumnya. Beberapa ulama menyatakan bahwa menikahi wanita yang hamil akibat zina bukanlah suatu kewajiban, tetapi merupakan perbuatan baik jika dilakukan dengan niat untuk memperbaiki kesalahan dan memberikan perlindungan kepada calon anak.
Pernikahan semacam itu sering kali memerlukan kesepakatan dan persetujuan dari semua pihak yang terlibat, termasuk keluarga kedua mempelai. Dalam pandangan beberapa ulama, pernikahan ini dapat dilakukan untuk melindungi martabat wanita dan calon anak yang belum lahir.
Namun demikian, hukum Islam menetapkan bahwa tanggung jawab terhadap anak yang lahir harus diemban dengan penuh tanggung jawab oleh ayahnya, meskipun pernikahan terjadi setelah kehamilan. Anak tersebut memiliki hak untuk diakui dan diurus oleh ayahnya, serta berhak atas nafkah dan perlindungan.
Dalam rangka menyelesaikan masalah ini secara adil dan sesuai dengan ajaran Islam, perlu melibatkan tokoh agama atau lembaga resmi yang dapat membimbing dan mengawasi jalannya pernikahan. Pernikahan semacam itu juga dapat mengandung ketentuan-ketentuan khusus, dan perlu ditekankan bahwa niat baik, kesungguhan, dan taubat yang tulus merupakan faktor penting dalam proses ini.
Penting untuk diingat bahwa hukum Islam bersifat kontekstual dan dapat berbeda-beda tergantung pada interpretasi mazhab atau pandangan ulama tertentu. Oleh karena itu, konsultasi dengan seorang ulama atau pemimpin agama terpercaya sangat disarankan dalam kasus-kasus seperti ini.